Kritik Sebagai Komunikasi Politik

Mitra Jatim
Publiser ~
0


DI NEGARA hukum berdasarkan asas demokrasi seperti Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), kritik kepada pejabat pemerintah, merupakan bagian dari komunikasi politik. Kritik dapat dilakukan melalui tulisan atau pun demonstrasi, jika komunikasi politik macet. Kritik juga adalah salah satu cara keturutsertaan warga negara dalam berpartisipasi dan mengawasi jalannya pemerintahan yang dijamin konstitusi UUD 1945.

Seorang pejabat pemerintahan harus mau dikritik. Karena, kritik merupakan bagian berdemokrasi yang efektif.  Namun, jika ada pejabat pemerintahan terlebih pemimpin pemerintahan alergi dikritik, itu menandakan belum siap menjadi  pejabat atau pemimpin pemerintahan. Mengingat, kritik sebagai cermin mengukur kemampuan dirinya sejauhmana program dan kebijakannya dijalankan dengan benar dan berguna bagi masyarakat.

Jadi, kritik haruslah diterima sebagai masukan positif bagi pejabt atau pemimpin pemerintahan. Sebaliknya, membalas kritik dengan hukuman dan menyeret pengritik ke pengadilan, itu bukan sifat pemimpin yang demokratis. Tapi, lebih cocok diimplementasikan sebagai pemimpin  yang otoriter.

"Haatzaai Artiekelen" di masa lampau digunakan untuk membungkam gerakan kemerdekaan oleh Inggris di tanah jajahannya India dan penjajah Belanda di Indonesia. Di abad ke-21 yang serba modern dan komunikasi elektronik yang begitu canggih, membuat semua yang terjadi di pelosok dunia dapat diterima dengan cepat. Karena itu, komunikasi politik tentunya dapat disampaikan dengan cepat dan efektif pula. Sampai detil dari serangan teroris di Sidney Australia; Chattanooga Amerika Serikat; dan Perang ISIS di Timur Tengah dapat ditayangkan dengan cepat dan mudah ke seluruh dunia.

Sehingga tidak ada alasan lagi, adanya kemacetan komunikasi politik. Sehingga, sungguh mengherankan dalam era demokratisasi sekarang, khususnya pasca era reformasi pada 1998, pasal-pasal penyebar kebencian (haatzaai artiekelen) yang digunakan pemerintah kolonial untuk membungkam gerakan kemerdekaan masih digunakan dalam perangkat KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) Indonesia yang baru.  Seharusnya, ketika meneruskan RUU KUHP itu disertai “minderheidsnota” yang menyatakan keberatan dengan Pasal 265 dan 266, karena alasan penghormatan atas hak asasi manusia dan kemerdekaan individu. (*)

*Penulis: Sumitro Hadi.
*Editor: Guido Saphan.
Tags:

Posting Komentar

0Komentar

Terimakasih atas tanggapan dan komentar anda, kami team Redaksi akan menyaring komentar anda dalam waktu dekat guna kebijakan komonikasi untuk menghindari kata kata kurang pantas, sara, hoax, dan diskriminasi.
Dalam jangka waktu 1x24 jam segera kami balas
Kami tunggu saran dan kritikannya, salam !!!

Posting Komentar (0)