Opini, mitra-jatim.com - Resiko Aparatur
Sipil Negara (ASN) dan Kepala Desa (Kades) ikut aktif dalam politik
dukung mendukung calon tertentu, kalau yang kita dukung kalah, ya
siap terima resiko”. Itulah kata-kata yang di lontarkan oleh seorang kades yang masih aktif mendukung calon kepala daerah yang kalah dalam
kontestasi Pilkada 2018 kemarin. Tak hanya kades, tetapi banyak juga ASN yang
terjun politik praktis mendukung calon Kepala Daerah yang kalah dalam
Pilkada. Walau para ASN dan Kades sebenarnya tahu resiko berpolitik,
karena berpolitik bisa menjadi tindakan berbahaya. Tetapi tampaknya,
banyak ASN dan Kades yang berani ambil resiko tersebut.
Tidak sedikit kepala desa yang tidak tahu bahwa mereka ‘dilarang’ menjadi pengurus partai dan membela calon tertentu dalam pemilihan kepala daerah dilarang berpolitik. Entah karena minimnya sosialisasi Penyelenggaran Pemilu, atau sumber daya manusia (SDM) yang bersangkutan atau memang sengaja dan berani ambil resiko.
Larangan berpolitik bagi ASN dan Kades jelas tercantum dalam beberapa aturan sekaligus lengkap dengan sanksinya. Seperti pada Surat Edaran (SE) Menteri Dalam Negeri No 273/3772/JS tertanggal 11 Oktober 2016 sebagai penegasan Pasal 70 Undang-Undang (UU) No 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU No 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu No 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Menjadi UU.
Pada Pasal 71 ayat 1 UU No. 10 2016 disebutkan, pejabat negara, pejabat daerah, pejabat aparatur negara, anggota TNI/Polri dan kepala desa atau sebutan lain lurah dilarang membuat keputusan dan atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon. ASN dan Kades yang berpolitik praktis juga akan dikenai pidana, seperti yang sudah diatur dalam Pasal 188 UU Pilkada. Pada Pasa 71 disebutkan pidana paling singkat satu bulan atau paling lama enam bulan dan denda palling sedikit enam ratus ribu rupiah dan paling banyak Rp. 6 juta.
"Larangan berpolitik praktis juga disebut dengan gamplang dalam UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. Di UU desa ini disebutkan, kades dilarang membuat keputusan yang menguntungkan diri sendiri, anggota keluarga, pihak lain atau golongan tertentu. Kades juga dilarang menjadi pengurus Parpol dan ikut serta dan atau terlibat kampanye Pemilu atau Pilkada. Jadi, apa batasan yang harus diperhatikan seorang kepala desa dalam urusan politik ini?
Aparatur Sipil Negara (ASN) dan Kades tidak boleh mengadakan kegitan yang mengarah pada keberpihakan terhadap pasangan calon yang menjdi peserta Pilkada, selama dan sesudah kampanye meliputi ajakan, himbauan, seruan atau pemberian barang kepada anggota keluarga dan masyarakat. Secara umum berarti kepala desa tidak boleh terlibat dalam kegiatan kampanye untuk mendukung calon kepala daerah/wakil kepala daerah, tidak menggunkan fasilitas yang terkait dengan jabatan dalam kegiatan kampanye, tidak membuat keputusan atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye.
Jabatan ASN dan Kades yang dengan susah payah didapat, sepertinya tidak membuat kendor para Aparatur Sipil Negara (ASN) dan Kades untuk tetap melibatkan diri dari aksi saling dukung calon kepala daerah, entah dengan tujuan apa mereka melakukan hal tersebut. Tetapi resiko sudah jelas bagi ASN dan Kades yang kebetulan mendukung salah satu calon kepala daerah yang didukungnya kalah dalam Pilkada.
Memang disaat ASN dan Kades mendukung calon Kepala Daerah, terutama calon dari kubu incumbent, pelanggaran yang mereka perbuat tidak akan “tersentuh” oleh hukum. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kabupaten hanya “rajin” mencatat laporan masyarakat tentang keterlibatan ASN dan Kades berpolitik, namun apa daya, kekuasaan telah “membelenggu” Bawaslu sehingga “taring” tajam yang dimiliki Bawaslu sesuai mandat UU, menjadi “ompong” tak berdaya oleh kekuasaan.
Tetapi dalam kompetisi tentunya ada pihak yang menang dan pihak yang kalah. Tentunya bagi pihak yang menang, pasti akan membuat “perhitungan” kepada ASN dan Kades yang terlibat politik praktis dan mendukung pesaingnya. Terutama membongkar “kasus-kasus” hukum ASN juga penyalahgunaan Anggaran Desa, yang diduga sebagian penyalahgunaan Anggaran di pergunakan oleh ASN dan Kades untuk membiayai kampaye calon Kepala Daerah yang didukungnya. Tentunya, tidak sulit mengungkap kasus peyalahgunaan Anggaran Desa dan banyaknya saksi mata yang melihat keterlibatan ASN dan Kades berpolitik praktis. Bagi ASN dan Kades yang berpihak kepada calon Kepala Daerah yang menang Pilkada akan “aman”, tetapi bagi ASN dan Kades yang calonnya “kalah” harus siap-siap menerima “konsekwensi” menghadapi berbagai laporan hukum terkait Anggaran.
Tidak sedikit kepala desa yang tidak tahu bahwa mereka ‘dilarang’ menjadi pengurus partai dan membela calon tertentu dalam pemilihan kepala daerah dilarang berpolitik. Entah karena minimnya sosialisasi Penyelenggaran Pemilu, atau sumber daya manusia (SDM) yang bersangkutan atau memang sengaja dan berani ambil resiko.
Larangan berpolitik bagi ASN dan Kades jelas tercantum dalam beberapa aturan sekaligus lengkap dengan sanksinya. Seperti pada Surat Edaran (SE) Menteri Dalam Negeri No 273/3772/JS tertanggal 11 Oktober 2016 sebagai penegasan Pasal 70 Undang-Undang (UU) No 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU No 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu No 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Menjadi UU.
Pada Pasal 71 ayat 1 UU No. 10 2016 disebutkan, pejabat negara, pejabat daerah, pejabat aparatur negara, anggota TNI/Polri dan kepala desa atau sebutan lain lurah dilarang membuat keputusan dan atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon. ASN dan Kades yang berpolitik praktis juga akan dikenai pidana, seperti yang sudah diatur dalam Pasal 188 UU Pilkada. Pada Pasa 71 disebutkan pidana paling singkat satu bulan atau paling lama enam bulan dan denda palling sedikit enam ratus ribu rupiah dan paling banyak Rp. 6 juta.
"Larangan berpolitik praktis juga disebut dengan gamplang dalam UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. Di UU desa ini disebutkan, kades dilarang membuat keputusan yang menguntungkan diri sendiri, anggota keluarga, pihak lain atau golongan tertentu. Kades juga dilarang menjadi pengurus Parpol dan ikut serta dan atau terlibat kampanye Pemilu atau Pilkada. Jadi, apa batasan yang harus diperhatikan seorang kepala desa dalam urusan politik ini?
Aparatur Sipil Negara (ASN) dan Kades tidak boleh mengadakan kegitan yang mengarah pada keberpihakan terhadap pasangan calon yang menjdi peserta Pilkada, selama dan sesudah kampanye meliputi ajakan, himbauan, seruan atau pemberian barang kepada anggota keluarga dan masyarakat. Secara umum berarti kepala desa tidak boleh terlibat dalam kegiatan kampanye untuk mendukung calon kepala daerah/wakil kepala daerah, tidak menggunkan fasilitas yang terkait dengan jabatan dalam kegiatan kampanye, tidak membuat keputusan atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye.
Jabatan ASN dan Kades yang dengan susah payah didapat, sepertinya tidak membuat kendor para Aparatur Sipil Negara (ASN) dan Kades untuk tetap melibatkan diri dari aksi saling dukung calon kepala daerah, entah dengan tujuan apa mereka melakukan hal tersebut. Tetapi resiko sudah jelas bagi ASN dan Kades yang kebetulan mendukung salah satu calon kepala daerah yang didukungnya kalah dalam Pilkada.
Memang disaat ASN dan Kades mendukung calon Kepala Daerah, terutama calon dari kubu incumbent, pelanggaran yang mereka perbuat tidak akan “tersentuh” oleh hukum. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kabupaten hanya “rajin” mencatat laporan masyarakat tentang keterlibatan ASN dan Kades berpolitik, namun apa daya, kekuasaan telah “membelenggu” Bawaslu sehingga “taring” tajam yang dimiliki Bawaslu sesuai mandat UU, menjadi “ompong” tak berdaya oleh kekuasaan.
Tetapi dalam kompetisi tentunya ada pihak yang menang dan pihak yang kalah. Tentunya bagi pihak yang menang, pasti akan membuat “perhitungan” kepada ASN dan Kades yang terlibat politik praktis dan mendukung pesaingnya. Terutama membongkar “kasus-kasus” hukum ASN juga penyalahgunaan Anggaran Desa, yang diduga sebagian penyalahgunaan Anggaran di pergunakan oleh ASN dan Kades untuk membiayai kampaye calon Kepala Daerah yang didukungnya. Tentunya, tidak sulit mengungkap kasus peyalahgunaan Anggaran Desa dan banyaknya saksi mata yang melihat keterlibatan ASN dan Kades berpolitik praktis. Bagi ASN dan Kades yang berpihak kepada calon Kepala Daerah yang menang Pilkada akan “aman”, tetapi bagi ASN dan Kades yang calonnya “kalah” harus siap-siap menerima “konsekwensi” menghadapi berbagai laporan hukum terkait Anggaran.
Terimakasih atas tanggapan dan komentar anda, kami team Redaksi akan menyaring komentar anda dalam waktu dekat guna kebijakan komonikasi untuk menghindari kata kata kurang pantas, sara, hoax, dan diskriminasi.
Dalam jangka waktu 1x24 jam segera kami balas
Kami tunggu saran dan kritikannya, salam !!!