Mitra Jatim OPINI : Ramainya perbincangan publik tentang hak angket menjadi
isu yang mengemuka dan menyita perhatian publik di
Bondowoso, DPRD setempat meloloskan penggunaan hak Interpelasi kepada Bupati
Bondowoso, KH. Salwa Arifin.
-Sejumlah
diskusi di warung kopi, muncul pertanyaan masyarakat awam, apakah dengan hak
interpelasi akan melahirkan hak angket ?, dan itu dapat melahirkan sebuah
pemakzulan?
-Terlepas
adanya pertanyaan berbagai pihak, yang pasti DPRD Bondowoso sudah
memperlihatkan fungsinya, mencoba memainkan perannya secara kritis konstruktif
sebagai lembaga yang seharusnya memiliki sensifitas merespons tuntutan
demokrasi di era milenial seperti sekarang ini secara transparan.
-Sekalipun
langkah ini dinilai sebagai aksi sensasional, namun sikap DPRD Bondowoso sesungguhnya
telah mencatatkan diri dalam sejarah, hak interpelasi belum pernah dilakukan di
DPRD Bondowoso, sekaligus menjadi praktek hak interpelasi yang unik, karena
pertama kali dilakukan dan sekaligus mengejutkan berbagai pihak.
-Di
lingkungan masyarakat lokal yang jauh dari pendidikan politik dan demokrasi,
sungguh cukup banyak yang belum paham tentang “hak interpelasi” itu. Bahkan ada
yang bertanya tentang apa hak interpelasi itu? apakah langkah DPRD Bondowoso
sudah dianggap tepat dan benar? atau langkah benar tetapi tidak tepat?
-Untuk
menjawab dan menerangkan, seyogyanya latar belakang lahirnya hak interpelasi
itu lebih awal dapat dipahami secara konseptual, dan dikaji lebih jauh, apakah
permasalahan yang “di-interpelasikan-kan” itu mempunyai nilai kepatutan?.
-Dalam
mengelaborasikan isu strategis ini, perlu memperluas wawasan tentang
asalmu-asalnya hak interpelasi, bagaimana melakukannya dikaitkan dengan hak-hak
DPRD yang seharusnya diemban dalam mengawasi sistem penyelenggara pemerintahan
yang baik serta menopang demokratisasi.
-Pada
dasarnya DPRD mempunyai hak dalam menjalankan tugas dan fungsinya secara
optimal dan substantif, khususnya dalam pelaksanaan fungsi pengawasan. Paling
tidak, DPR mempunyai 3 (tiga) hak yang melekat dalam fungsi tersebut, yakni:-
Hak Interpelasi, Hak Angket, dan Hak Menyatakan Pendapat.
-Hak
Angket dan Hak Menyatakan Pendapat ini juga akan menjadi tindak lanjut dari
pelaksanaan hak interpelasi, kemudian melahirkan temuan-temuan pelanggaran
peraturan perundangan yang patut mendapatkan perhatian, teguran, dan bahkan
upaya pemakzulan dalam rangka mendelegitimasi terhadap suatu pemerintahan yang
sedang berkuasa.
Dari
ketiga hak DPRD tersebut, tentu mempunyai kadar berbeda-beda yang mampu merubah
atau memperbaiki efektifitas pemerintahan. Untuk menjawab polemik tentang “Hak
Interpelasi” itu, sebenarnya sangat tergantung pada kacamata politik hukum yang
digunakan dalam melihat realitas kasus atau peristiwa tentang adanya praktek
penyalahgunaan kekuasaan, terpenuhinya unsur-unsur yang mendukung perlunya hak
ini diambil oleh DPR, dengan pertimbangan kebijakan yang lahir itu dapat
merusak tatanan pemerintahan atau menjelma menjadi ancaman bagi keberlangsungan
pembangunan.
Ditinjau
dari tahapan dan alur sejumlah hak yang melekat pada lembaga rakyat ini, DPRD
Bondowoso sesungguhnya sudah memilih opsi awal dengan pendekatan “hak
interpelasi” untuk mendapatkan bahan keterangan atau informasi awal sebagai
langkah persuasif untuk mengatasi tensi politik. Mengidentifikasi apakah
sejumlah kebijakan itu mendasar, argumentatif, atau sebaliknya dipastikan
terdapat kekeliruan dengan catatan. Lebih lanjut memperdalam apakah kebijakan
dan langkah pemerintah itu merugikan secara sistematik dan berdampak pada
efektifitas pemerintahan, kepentingan publik dan atau sudah nyata-nyata dan
kasatmata melawan hukum?
Bila
terdapat sejumlah temuan, dan terdapat kesalahan fatal serta bukti konkrit yang
kemudian tidak dapat ditolerir, maka langkah “hak angket” menjadi opsi
selanjutnya yang dapat diambil sebagai aksi konfirmasi. Pertanyaan yang akan
muncul kemudian adalah, apakah DPRD dapat langsung memilih opsi kedua “hak
angket” sebagai pilihan tanpa harus melalui mekanisme hak interpelasi lebih
dulu?.
Jawabnya,
semua opsi dapat dipilih sesuai kesepakatan dewan terhadap urgensi dari hak
angket itu. Secara empirik, hak angket bisa saja terjadi secara langsung bila
dipastikan bahwa keterangan dan fakta-fakta yang dihimpun cukup memadai tanpa
harus meminta keterangan lagi secara formal dan mendengar pandangan serimonial
pihak pemerintah sehingga selanjutnya layak untuk dilakukan pendalaman melalui
pengangketan.
Dalam
konteks studi kasus penggunaan hak interpelasi DPRD Bondwooso terhadap seorang
Bupati, sebenarnya dapat dilihat dari keterhubungan fungsi pengawasan dari
pihak legislatif terhadap kebijakan eksekutif. Tidak ada aksi penolakan dari
masyarakat dalam pemberlakuan hak interpelasi yang dinilai melanggar batasan
normatif.
Anomali
Kebijakan dan munculnya Hak Interpelasi setidaknya terdapat tiga isu besar yang
dinilai sebagai dasar munculnya hak interpelasi DPRD, yakni kontroversi
pengangkatan Sekda Bondowoso, Surat Keputusan (SK) Bupati tentang pelantikan
mutasi/promosi 192 ASN yang berdampak terhadap masalah manajemen PNS dan dugaan
gratifikasi Forum Bondowoso Amanah (FBA).
Isu-isu
ini sebenarnya sangat sarat dengan isu politis yang bila ditelusuri lebih
lanjut peristiwa ini terjadi karena lemahnya koordinasi dan konsolidasi
intra-eksekutif pimpinan pemerintah dan adanya kebuntuan komunikasi politik
antara eksekutif dan legislatif. Disinilah letak lahirnya sejumlah polemik dan
menguatnya berbagai masalah yang seharusnya dapat diredam dan diatasi secara
bersama-sama. Sebaliknya kini menjadi masalah serius dan bola liar yang sulit
dikendalikan .
Ketiga
isu yang kini menjadi perhatian itu lebih pada adanya anomali kebijakan yang
nyata-nyata dilakukan oleh pemerintah setempat tanpa adanya kepemimpinan yang
berbasis pada demokrasi – partisipatif. Disinyalir masih terdapat sejumlah
anomali kebijakan lainnya yang kini belum muncul di permukaan.
Masalah
aktual yang menjadi isu utama interpelasi terjadi seperti kontroversi
penerbitan SK Bupati dalam pelantikan 192 pejabat di lingkup Pemkab Bondowoso
dan berbuntut panjang dengan dipublikasikannya materi interpelasi oleh pemohon
interpelasi DPRD Bondowoso. Hal inilah kemudian menimbulkan reaksi DPRD untuk
mempertanyakan dasar penerbitan keputusan dan pelaksanaan pelantikan oleh
Bupati Bondowoso sesuai dengan dugaan pelanggaran Peraturan perundangan yang
sudah dijelaskan secara detai disertai dengan pendapat hukum staf ahli DPRD
yang menguatkan materi interpelasi.
DPRD
juga menduga ada gratifikasi atas pembentuan FBA di rumah dinas Sekretaris
Daerah yang ujungnya adalah polemik permasalahan proyek pengadaan barang dan
jasa yang menjadi sorotan berbagai pihak, pasalnya ada pengakuan dari salah
satu anggota FPB yang bicara masalah “fee” proyek. Tentunya mekanisme atau
prosedur distribusi proyek oleh FBA dianggap sebagai hal yang melanggar Peraturan
Perundang-undangan dan patut diduga ada unsur gratifikasi.
Semua
temuan dalam Hak interpelasi dapat menaikkan “tensi politik” dari Hak
Interpelasi menjadi Hak Angket. Filosofi dasar dari hak angket DPR adalah
sebagai instrumen checks and balances dalam sistem demokrasi. Dalam banyak
definisi hak angket dimaknai juga sebagai hak untuk melakukan penyelidikan oleh
lembaga legislatif terhadap kebijakan yang diterapkan atau dijalankan oleh
pemerintah (eksekutif).
-Pasal
20A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan bahwa dalam melaksanakan fungsi
legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan, DPR mempunyai hak
interpelasi, hak angket dan hak menyatakan pendapat. Penggunaan ketiga hak
tersebut, terutama hak angket dan hak interpelasi telah menjadi mekanisme dalam
membangun kendali dan keseimbangan pemerintahan.
-Pada
praktek penggunaan kewenangan dan hak antar lembaga kekuasaan ini tidak jarang
menjadi polemik dan perdebatan. Hal ini terlihat pada kewenangan yang lebih
luas juga terjadi pada ranah pengawasan. Pengawasan yang dilakukan DPR terhadap
pemerintah dan lembaga lain demikian luas juga banyak berujung pada kegaduhan
politik.
-Jika
pelaksanaan Hak Interpelasi menemukan banyak pelanggaran terhadap ketentuan
perundangan dan seandainya naik menjadi hak angket untuk ingin ditindaklanjuti
penyelidikan lebih lanjut, maka kemudian akan berakhir pada hak menyatakan
pendapat. Hak menyatakan pendapat lazimnya berujung pada {impeachment}. Apakah mungkin
terjadi?
-Secara
historis, keberadaan hak angket bermula dari hak untuk meng investigasi dan
memeriksa penyalahgunaan kewenangan, dan menghukum penyelewengan dalam
administrasi pemerintahan. Dari pengalaman sejarah dunia, keberadaan hak angket
dalam sistem parlementer dipergunakan untuk memakzulkan pejabat negara karena
melakukan pelanggaran jabatan.
-Yang menjadi harapan besar masyarakat,
penerapan praktek hak interpelasi di Bondowoso sedapat mungkin memberi “angin
perubahan” demi perbaikan bagi penyelenggaraan pemerintahan, mendorong
peningkatan kualitas proses politik dan demokrasi substantif, serta senantiasa
dapat membentuk karakter masyarakat. (Red*)
Terimakasih atas tanggapan dan komentar anda, kami team Redaksi akan menyaring komentar anda dalam waktu dekat guna kebijakan komonikasi untuk menghindari kata kata kurang pantas, sara, hoax, dan diskriminasi.
Dalam jangka waktu 1x24 jam segera kami balas
Kami tunggu saran dan kritikannya, salam !!!