I. Profesi Hakim
Ada pendapat, hakim adalah wakil Tuhan. Setiap putusan hakim wajib mencantumkan kalimat sakral “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” (Pasal 2 Ayat 1 UU No. 48 tahun 2009 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman). Tanpa kalimat sakral tersebut, putusan hakim tak punya nilai apa-apa.
Artinya, hakim dalam mengemban amanatnya, tidak sekedar bertanggungjawab pada hukum, pada dirinya sendiri, atau pada pencari keadilan, tetapi juga mutlak harus bertanggungjawab kepada Tuhan Sang pencipta dan pemilik hukum. Hakim hakikatnya hanyalah kepanjang-tanganan Tuhan, untuk menetapkan sebuah keadilan dan hukum.
Jabatan Hakim mendapat perhatian khusus, antara lain dalam hukum positif terlihat dengan adanya Undang Undang pokok Kehakiman yang secara khusus mengatur tata cara peradilan termasuk jabatan Hakim. Tak hanya dalam hukum positif dalam hukum Islam pun jabatan hakim mendapat perhatian khusus dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang membahas tentang jabatan hakim ini bahkan jauh sebelum hukum positif mengaturnya. Dalam firman Allah SWT :
اِنَّاۤ اَنۡزَلۡنَاۤ اِلَيۡكَ الۡكِتٰبَ بِالۡحَـقِّ لِتَحۡكُمَ بَيۡنَ النَّاسِ بِمَاۤ اَرٰٮكَ اللّٰهُ ؕ وَلَا تَكُنۡ لِّـلۡخَآٮِٕنِيۡنَ خَصِيۡمًا
"Sungguh" Kami telah menurunkan Kitab (Al-Qur'an) kepadamu (Muhammad) untuk membawa kebenaran, agar engkau bisa mengadili antara manusia seperti apa yang telah diajarkan melalui Kitab Suci Allah kepadamu, dan janganlah engkau menjadi penentang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang yang berkhianat. (QS. An-Nisa Ayat 105)
"Hakim adalah profesi yang mulia, Di sisi lain hakim adalah profesi yang sangat beresiko. Saking mulianya, hanya hakim yang berhak mendapat gelar “Yang Mulia”. Tidak ada pejabat lain yang berhak menyandang gelar tersebut, bahkan presiden sekalipun. Dan saking beresikonya, Nabi Muhammad Saw menegaskan melalui Hadis;
عَنْ بُرَيْدَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْقُضَاةُ ثَلَاثَةٌ قَاضِيَانِ فِي النَّارِ وَقَاضٍ فِي الْجَنَّةِ رَجُلٌ قَضَى بِغَيْرِ الْحَقِّ فَعَلِمَ ذَاكَ فَذَاكَ فِي النَّارِ وَقَاضٍ لَا يَعْلَمُ فَأَهْلَكَ حُقُوقَ النَّاسِ فَهُوَ فِي النَّارِ وَقَاضٍ قَضَى بِالْحَقِّ فَذَلِكَ فِي الْجَنَّةِ
Dari Buraidah RA bahwa Nabi SAW bersabda, “Hakim itu ada tiga, dua di neraka dan satu di surga: 1) seseorang yang menghukumi secara tak benar padahal ia mengetahui mana yang benar, maka ia di neraka, 2) seorang hakim yang tidak adil lalu menghancurkan hak-hak mereka, maka ia di neraka, dan 3) seorang hakim yang menghukumi dengan benar, maka ia masuk surga.” (HR. Tirmidzi No. 1244)
"Hakim adalah mengawal keadilan akhir (penegakan hukum) Sejak disumpah, diubun-ubunnya telah dipatrikan tulisan secara tegas: Fiat justicia ruat coelum (keadilan harus tetap ditegakkan, walau langit runtuh). Ini kodrat hakim.
Hakim sebagai korps akan tetap sebagai berperan sebagai wakil Tuhan. Sampai kapan pun. Bukan wakil hukum yang menyesatkan. Salah satu perlambang hakim adalah simbol Kartika, yang berarti setiap putusan hakim akan dipertanggungjawabkan pada Tuhan Yang Maha Adil. Adapun terkait oknum hakim yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi, terserah publik akan menjuluki apa: wakil yang menyesatkan, atau wakil yang tidak bisa memberi rasa keadilan.
Hakim telah memiliki Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) yang terbit berdasarkan Surat Keputusan Bersama antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial Nomor: 047/KMA/SKB/IV/2009 dan 02/SKB/P.KY/IV/2009, tentang Kode Etik dan Pedoman Peilaku Hakim. Surat Keputusan Bersama tersebut merupakan wujud kristalisasi perjuangan Mahkamah Agung serta Komisi Yudisial menuju peradilan yang merdeka dan imparsial. KEPPH tersebut memuat sepuluh prinsip dasar beserta butir penjabarannya. Sepuluh prinsip dasar itu adalah: 1. Berperilaku adil, 2. Berperilaku jujur, 3. Berperilaku arif dan bijaksana, 4. Bersikap mandiri, 5. Berintegritas tinggi, 6. Bertanggungjawab, 7. Menjunjung tinggi harga diri, 8. Berdisiplin tinggi, 9. Berperilaku rendah hati, dan 10. Bersikap professional.
"Harapan terwujudnya peradilan yang agung, adalah alasan primer bagi penegak hukum untuk berbuat lebih baik, Lebih profesianal, Lebih bersih, Lebih transparan, Lebih berkeadilan. Juga lebih “meghadirkan” Tuhan dalam setiap putusannya.
Semoga penegak hukum, khususnya hakim, senantiasa berpegang teguh pada nurani. Sehingga praktek-praktek perilaku koruptif yang dapat menjungkalkan keadilan, dapat segera sirna dari bumi pertiwi ini. Semoga seluruh hakim, tetap pantas menyandang gelar wakil Tuhan.
II. Profesi Pengacara
Menjadi pengacara yang membela orang yang dizalimi, boleh dan tidaknya, dikembalikan pada status pembelaannya terhadap hak orang tersebut. Pembelaan yang dilakukan oleh pengacara untuk menghilangkan kezaliman dan membebaskan dari penjara merupakan pekerjaan yang bukan saja dibolehkan oleh syariah, tetapi hukumnya juga wajib.
Namun, jika hak tersebut merupakan hak yang melanggar ketetapkan hukum atau perundang-undangan, maka profesi dan tidakan pengacara yang membela hak seperti ini tidak dibolehkan. Karena pekerjaannya haram, maka gaji yang didapat pun jadi haram, wallahu a’lam.
Insya Allah masih banyak pekerjaan lain yang mudah, halal, dan menghasilkan. Tapi jika terpaksa harus berkecimpung dengan dunia hukum, maka yang lebih aman dan selamat adalah posisi pengacara, asalkan ia membela yang benar dan menuntut yang salah menurut Islam.
Komisi tetap untuk penelitian ilmiyah dan fatwa Saudi Arabia, yang diketuai Syaikh Abdul Aziz bin Baz mengatakan: “Adapun pengacara di negara yang memberlakukan UU buatan manusia yang bertentangan dengan syariat Islam, maka:
Setiap pembelaannya terhadap kesalahan, -padahal ia tahu akan kesalahan itu- dengan memanfaatkan UU buatan manusia yang ada, maka ia kafir jika meyakini bolehnya hal itu atau menutup mata meski bertentangan dengan Alquran dan Assunnah. Sehingga gaji yang diambilnya pun haram.
Setiap pembelaannya terhadap kesalahan, padahal ia tahu kesalahan itu, tapi ia masih meyakini bahwa tidakannnya itu haram, dan ia mau membelanya karena ingin mendapatkan bayaran darinya, maka ia telah melakukan dosa besar, dan bayaran itu tidak halal baginya.
Adapun jika ia membela orang yang ia pandang di pihak yang benar sesuai dengan dalil-dalil syariat, maka amalnya berpahala, salahnya diampuni, dan berhak mendapat bayaran dari pembelaan itu.
Begitu pula jika ia menuntut hak untuk saudaranya yang ia pandang berhak memilikinya, maka ia dapat pahala, dan berhak dengan bayaran sesuai kesepakatan yang ada” (Fatwa Lajnah Da’imah, fatwa no: 1329)
Intinya menjadi seorang pengacara, maka hendaklah ia memilih kasus orang yang berada pada posisi yang benar menurut Syariat Islam, lalu berusaha membelanya. InsyaAllah dengan begitu, ia mendapat pahala dunia dan akhirat.
Rosululloh SAW menekankan kepada umatnya yang takdirkan menjadi hakim dan pengacara di dunia ini agar lebih mementingkan kehidupan akhirat dibandingkan kehidupan dunia. Berapakah nilai kenikmatan dunia yang dia terima dengan memberikan keputusan aau pembelaan yang tidak adil dibandingkan dengan siksa neraka yang demikian dahsyatnya?
Walaupun dengan keputusan dan pembelaan, seorang hakim dan pengacara bisa meraup kekayaan seluruh dunia sehingga dia menjadi orang terkaya sedunia sekali pun, tetap tidak bisa dibandingkan dengan beratnya siksa neraka yang menunggunya. Sungguh, kenikmatan dunia itu hanya sesaat dan pasti akan berakhir, sementara kesengsaraan akhirat demikian berat dan mengerikan. Tidak ada yang bisa menyelematkannya dari hukuman walaupun dia hendak menebus siksanya dengan harta seluruh dunia. Oleh karena itu ambillah pelajaran wahai orang-orang yang berakal.
Oleh : Sumitro Hadi, SH
Terimakasih atas tanggapan dan komentar anda, kami team Redaksi akan menyaring komentar anda dalam waktu dekat guna kebijakan komonikasi untuk menghindari kata kata kurang pantas, sara, hoax, dan diskriminasi.
Dalam jangka waktu 1x24 jam segera kami balas
Kami tunggu saran dan kritikannya, salam !!!