Oleh
: Bagus Sujana,sedang menempuh S1 Ilmu Pendidikan Prodi PPKn Universitas PGRI
Kanjuruhan Malang.
Jaran Kepang (Jaranan) atau Kuda Lumping merupakan kebudayaan asli Jawa Timur yang terkenal dengan tarian menunggangi kuda yang terbuat dari bilahan anyaman bambu yang dirangkai dan penggunaannya dijepitkan diantara 2 kaki setiap penarinya.Kemudian bentuk dari kudanya sendiri diberikan pernak-pernik rumbai dan cat yang menyerupai bentuk dari hewan kuda.Mengenai alat musik tradisional yang menjadi pengiring saat pertunjukan berlangsung yaitu seperangkat gong,kenong,kendang,dan kempul terompet.
Menurut bahasa jawa kuno kata Kepang pada tradisi jaranan berasal dai kata kepung yang merunjuk pada mengepung. ( Zoetmuder, 1995:491 ) dalam arti seni pertunjukan ini dimainkan dengan gerak pengepungan yang dilakukan oleh pasukan berkuda yang sedang berhadapan dengan binatang buas seperti Macanan ( Harimau ), Celengan (Babi), dan Barongan (Ular Besar).
Asal dari tarian Jaranan ini sebenarnya tidak dijadikan sebagai seni pertunjukan dan bukan juga merupakan kesenian,namun tarian jaranan ini lebih kepada bentuk dari ritual untuk menolak bala bencana,musibah,serta meminta harapan berupa keberkahan serta kedamaian.Pada zaman dimana manusia masih percaya dengan agama nenek moyang meyakini bahwa semua bentuk musibah merupakan wujud atas kekuatan nenek moyang.
Berbicara mengenai sejarahnya sendiri belum pasti kebenarannya karena terdapat banyak versi yang berbeda,hal ini dapat dibuktikan pada relief yang ada di Candi Jawi,Pasuruan yang menceritakan seorang perempuan bersama pasukan berkuda yang diyakini diduga merupakan Kilisuci.
Versi lain mengatakan bahwa jaranan atau kuda lumping merupakan perwujudan dari representasi pasukan dari pahlawan diponegoro yang sedang berlatih perang dengan menunggangi kuda,jika dikaitkan erat dengan zaman kolonial pada masa itu seorang bangsawan atau keluarga kerajaan saja yang berhak menunggangi kuda,alasannya karena jika rakyat kecil menunggangi kuda maka “saru” atau “nyaru” (tidak baik) maka dari situlah kemudian menjadikan seni jaranan sebagai bentuk perlawanan karena rakyat kecil tidak boleh menunggangi kuda sungguhan.
Hal yang paling menarik dan ditunggu oleh penonton saat pertunjukan berlangsung yaitu Kesurupan ,momen ini akan terjadi bila para pemain telah melakukan formasi tarian penunggang kuda diawal pertunjukan sebagai bentuk mengundang makhluk halus untuk didatangkan dalam pertunjukan tersebut.
Namun sebelum pemanggilan arwah dilakukan,sang lakon atau pemain jauh-jauh hari diharuskan untuk berpuasa 3 hari terlebih dahulu sebagai bentuk persiapan saat pertunjukan berlangsung.Dari setiap tingkatannya berbeda maka disini jika para arwah sudah datang,peran dari pawang sangatlah berarti sebagai pemandu jalannya pertunjukan.
Wujud dari arwah roh halus yang dipanggil oleh pawang sendiri juga berkaitan erat dengan musik pengiringnya jika musik nya mulai kencang maka roh yang dipanggil tingkatannya semakin tinggi atau bisa dibilang sebagai rajanya.Setiap kali penulis menonton pertunjukan ini roh yang dipanggil rata-rata wujudnya hewan yang memiliki tingkah aneh seperti memakan pecahan beling kaca,kemudian memakan debog atau batang pohon pisang,keinginan dicambuk,bermain permainan tradisional dan lain sebagainya.
Lantas apakah ada konflik saat pertunjukan jaranan ini berlangsung ? tentu saja ada,potensi konfllik ini akan terjadi ketika pemanggilan arwah berlangsung dimana para penonton terutama anak-anak yang bersiul seenaknya,dimana hal tersebut tidak boleh dilakukan karena dianggap tidak menghormati roh yang dipanggil,kemudian disisi lain potensi konflik ini dapat timbul jika ada penonton provokatif yang membuat situasi tidak kondusif alhasil pertunjukan tidak dapat dinikmati bersama.
Maka dari sini timbulah pertanyaan bagaimana mengatasi konflik tersebut supaya kedepannya tidak terjadi permasalahan yang sama ? yaitu dengan membuat strategi menejemen konfllik,mengutip dari penjelasan Howard Ross (1933) definisi dari menejemen konflik lebih kepada pendekatan suatu orientasi yang menunjuk pada pola komunikasi termasuk perilaku para pelaku dan bagaimana mereka memengaruhi sebuah kepentingan dan penafsiran pada konflik yang berlangsung.
Kemudian menurut Johnson and Johnson (dalam farida: 1996) dipertegas kembali bahwa untuk menghadapi permasalahan tersebut seringkali harus menggunakan regiusitas dasar menejemen konflik yakni withdrawing (menghindari),Forcing (memaksa),Smoothing (melunak),Comproming (berkompromi) dan confrnting (konfrontasi).
Untuk itu penulis memberikan kesimpulan bahwa setiap event atau kegiatan yang entah itu kebudayaan maupun apapun yang berpotensi konfllik,terlebih dahulu harus dapat menyusun strategi menejemen dengan matang dan mengkomunikasikan kepada pihak-pihak terkait ,memang hal ini terkesan sepele dan tidak diperhatikan namun jika hal ini tidak dipersiapkan maka kedepannya tidak menutup kemungkinan juga akan terjadi kejadian yang serupa.
Terimakasih atas tanggapan dan komentar anda, kami team Redaksi akan menyaring komentar anda dalam waktu dekat guna kebijakan komonikasi untuk menghindari kata kata kurang pantas, sara, hoax, dan diskriminasi.
Dalam jangka waktu 1x24 jam segera kami balas
Kami tunggu saran dan kritikannya, salam !!!